Sabtu, 29 Oktober 2011


10 NOVEMBER 1945 SEBAGAI MANIFESTASI NILAI KEPAHLAWANAN

PENDAHULUAN
Sejarah perjuangan arek-arek surabaya telah banyak ditulis dan masyarakat Indonesia  telah mengetahui mengapa kota surabaya disebut “Kota Pahlawan”. Bagaimana dahsyatnya pertempuran pada saat itu dalam mempertahankan kehormatan serta martabat Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah memproklamirkan kemerdekaannya sejak tanggal 17 agustus 1945. Prahara perang kemerdekaan yang pecah pada tanggal 10 November 1945 sebagai konsekwensi mempertahankan tetap berkibarnya sang Merah Putih, putra putri Indonesia dengan segenap rakyat Surabaya mengankat senjata dan bertempur melawan sekutu.           
Setiap tanggal 10 November kita memperinagati Hari Pahlawan, sebagai  penghargaan kita kepada para pahlawan yang gugur dalam membela dan menegakkan kemerdekaan. Hari Pahlawan tanggal 10 November ini diangkat dari sikap dan tindak kepahlawanan yang terjadi di kota Surabaya. Tindak kepahlawanan di Surabaya ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari jiwa-jiwa yang mendambakan kemerdekaan yang abadi bagi bangsanya, yang disertai keberanian mengatasi pelbagai kesulitan, tantangan, tekanan fisik maupun moral. Oleh karena itu peristiwa tanggal 10 November 1945 di Surabayaini  bukanlah suatu peristiwa yang bersifat “kebetulan” melainkan suatu pernyataan sikap yang murni dari arek-arek surabaya yang berjiwa pantang dihina dan ditantang, apalagi oleh penjajah. Mereka menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah harga diri bangsa Indonesia, yang bagi mereka adalah masalah yang teramat prinsipal.                                              
Kini peristiwa itu telah berlalu, sebagai penghormatan yang layak baagi jasa-jasa dan pengorbanan mereka, wajar bila kita memperingati peristiwa Hari pahlawan 10 November 1945, ini dengan penuh khidmat yang disertai dengan amal perbuatan dan suri teladan serta nilai-niali perjuangannya untuk mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Nasional, dan menegakkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara.
RUMUSAN MASALAH
·      Mengapa 10 November diindikasikan sebagai hari pahlawan nasional ?
·      Bagaimana peranan seorang Bung Tomo dalam pertempuran 10 November?

10 NOVEMBER SEBAGAI HARI PAHLAWAN
10 November 1945, tanggal terjadinya pertempuran Surabaya, adalah salah satu tanggal bersejarah bagi rakyat Indonesia. Surabaya, 65 tahun silam. Terjadi sebuah peristiwa dahsyat yang takkan terlupakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Begitu dahsyatnya pertempuran itu, sehingga sejarawan dunia menyebutkan pertempuran 10 November 1945 sebagai salah satu pertempuran terdahsyat di dunia setelah Perang Dunia II. Satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah lahirnya negara Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia yang sejak 1928 ingin bersatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyambut baik adanya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan di kota Jakarta.  Warga Surabaya pun turut larut dalam euforia menyambut kebebasan dari penjajah Jepang.

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Melihat kondisi semakin tidak kondusif di kota Surabaya, pada tanggal 25 Oktober 1945 Sekutu mengirim 6.000 pasukan yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby. Pasukan Mallaby ini dikenal dengan nama “The Fighting Cook”. Namun kedatangan pasukan Mallaby ini tidak menciutkan nyali para pejuang Surabaya. Keberanian mereka justru semakin bergelora, apalagi mereka telah mendapatkan rampasan senjata cukup banyak, ditambah  adanya pemimpin yang mengomado perlawanan berikut media radio yang sangat besar peranannya.  Pasukan Mallaby terdesak hingga nyaris musnah semuanya, sebagaimana diceritakan oleh sejarawan Inggris Donnison dalam bukunya  “The Fighting Cook”. Pimpinan Tertinggi Tentara Sekutu Jendral Hawthron  akhirnya meminta bantuan pimpinan tertinggi Indonesia Bung Karno dan Bung Hatta untuk meredam perlawanan arek-arek Suroboyo.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Tewasnya Mallaby saat gencatan senjata berlangsung menambah murka pihak Sekutu. Mereka akhirnya mengirim armada terbesarnya setelah Perang Dunia II ke pelabuhan Surabaya. Armada berkekuatan 15.000 personel dari Divisi 5 plus 6.000 personel dari Brigade 49 The Fighting Cook itu diangkut dengan sejumlah kapal perang dan kapal terbang. Pihak Sekutu memberikan peringatan keras kepada seluruh warga Surabaya agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Mereka juga mengultimatum agar seluruh laki-laki menyerahkan diri, dengan ancaman hukuman mati apabila tetap melawan. Tantangan Sekutu ditanggapi dengan gagah berani oleh warga Surabaya. Bung  Tomo pun meneriakkan pidato yang semakin membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk lepas dari belenggu penjajahan, meskipun harus membayarnya dengan tetesan darah bahkan nyawa.

Dalam perlawanan ini, pihak Indonesia mengerahkan lebih dari 20.000 tentara terlatih TNI dan alumni tentara didikan Jepang. Tercatat pula sekitar 130.000 rakyat sipil yang terpanggil jiwanya untuk berjihad membela bangsa turut ambil bagian dalam perjuangan ini. Saat itu, perlawanan bukan lagi milik warga Surabaya, tapi menjadi milik seluruh bangsa Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Para ulama memfatwakan wajib jihad ke Surabaya bagi laki-laki yang sudah dewasa dan mampu. Bung Tomo sendiri bahkan membentuk pasukan bom bunuh diri yang khusus dilatih untuk  meledakkan tank-tank tentara Sekutu.
Dahsyatnya pertempuran Surabaya dilukiskan oleh sejarawan asing David Welch dalam bukunya, Birth of Indonesia. Di pusat kota, pertempuran terjadi lebih ganas lagi. Suasana bertambah dramatis dengan pemandangan mayat-mayat manusia serta bangkai-bangkai hewan bergelimpangan di sungai dan selokan. Pecahan beling, gelas, dan perabotan rumah tangga. Kawat-kawat telepon yang putus, berserakan dan bergelantungan di sana-sini. Suara pertempuran di kejauhan demikian mencekam, bergema dalam gedung-gedung kosong. Pertempuran berlangsung selama tiga pekan. Pada akhir bulan November 1945, seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Menurut Ricklefs (2008), sedikitnya ada 6.000 rakyat Indonesia yang gugur dalam pertempuran ini. Sedangkan dari pihak Sekutu, tercatat sekitar 1.000 orang tewas. 

Bung Tomo, Tokoh Pahlawan 10 November
Berita Proklamasi Kemerdekaan pertama kali diketahui oleh Bung Tomo, Yacob,  dan  R.  Sumadi.  Bung  Tomo  kemudian  membuat  pengumuman  yang ditempel  di  depan  kantor  berita  Domei  dan  bisa  dibaca  oleh  rakyat.  Pasca menerima  berita  Proklamasi  dengan  segera  di  Surabaya  diadakan  peralihan pemerintahan  dan  perebutan  senjata  dari  Jepang. Bung  Tomo  turut  serta  dalam perundingan  dengan  pihak  Jepang  dalam  rangka mendapatkan  persenjataan  dari Jepang.                       
Bung  Tomo  ikut  andil  dalam  perjuangan mempertahankan  kemerdekaan Indonesia  di  Surabaya. Bung  Tomo membentuk  BPRI  (Barisan  Pemberontakan Rakyat  Indonesia)  yang  bertujuan  menampung  para  rakyat  untuk  bersiap menghadapi  datangnya  pasukan  Inggris  dan  NICA.  Pembentukan  BPRI  ini berawal  dari  rasa  kecewa  Bung  Tomo  ketika  melihat  kondisi  Ibukota  Jakarta, dimana  orang-orang  Belanda  maupun  Sekutu  bebas  berkeliaran  di  jalanan Ibukota.  BPRI  mempunyai  senjata  ampuh  dalam  menggerakkan  massa,  yaitu Radio  Pemberontakan.  Pidato  Bung  Tomo  di  Radio  Pemberontakan  berhasil memberikan  semangat  kepada  rakyat  untuk  terus  berjuang  mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Berkat Radio Pemberontakan  ini terjalin komunikasi antar laskar pejuang. 
ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!".  Bung Tomo mengangkat moral penduduk Surabaya lewat radio, meneriakkan dengan lantang slogan-slogan "Merdeka atau Mati".
Atas latar belakang dan pembentukan karakter di masa mudanya maka Sutomotelah menjadi salah satu dari sekian sedikit agitator yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia dengan Sutomo sebagai agitator yang berhasil dalam sejarah.
PENUTUP
Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena begitu banyaknya pahlawan - baik yang dikenal maupun tidak di kenal yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya telah dapat menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi (menyelundupkan) NICA ke wilayah Indonesia.
Nilai kepahlawanan adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan yang diinginkan seorang pejuang bangsa dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.  Perjuangan 10 November merupan perjuangan yang membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa. Nilai-nilai kepahlawanan dijadilan dalam landasan untuk membentuk karakter bangsa.
REFERENSI
Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda “Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946”. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Kuntowijoyo.2003. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Irna H.N. 1994. Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan.  Jakarta : Grasindo.
Panitia Konferensi Internasional. 1997. Denyut nadi revolusi Indonesia. Jakarta : Gramedia Pusataka Utama
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sjamsudin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Soemarsono. 2008. Revolusi Agustus “kesaksian seorang pelaku sejarah”. Hasta Mitra.
Soepandhan, Lukitaningsih. 1988. Peristiwa 10 Nov 1945 dalam Lukisan. PT. Enka Parahiyangan
Tanpa Nama. 2011. Peristiwa 10 November. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs  (http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November) (online)
Tanpa Nama. 2011. Artikel sejarah. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs                   (http://umum.kompasiana.com/2009/11/23/pertempuran-surabaya-10-november-1945/) (online)
Tanpa Nama. 2011. Artikel sejarah. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs                     (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/12654) (online)

Wawancara  pada tanggal 8 Juni 2011
Bapak H. Hartoyek (Pelaku Sejarah dalam Peristiwa pertempuran 10 November)
Bapak Sarmudji (Anggota DPC LVRI Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar