10
NOVEMBER 1945 SEBAGAI MANIFESTASI NILAI KEPAHLAWANAN
PENDAHULUAN
Sejarah perjuangan arek-arek surabaya
telah banyak ditulis dan masyarakat Indonesia
telah mengetahui mengapa kota surabaya disebut “Kota Pahlawan”.
Bagaimana dahsyatnya pertempuran pada saat itu dalam mempertahankan kehormatan
serta martabat Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah memproklamirkan
kemerdekaannya sejak tanggal 17 agustus 1945. Prahara perang kemerdekaan yang
pecah pada tanggal 10 November 1945 sebagai konsekwensi mempertahankan tetap berkibarnya
sang Merah Putih, putra putri Indonesia dengan segenap rakyat Surabaya
mengankat senjata dan bertempur melawan sekutu.
Setiap tanggal 10 November kita
memperinagati Hari Pahlawan, sebagai
penghargaan kita kepada para pahlawan yang gugur dalam membela dan
menegakkan kemerdekaan. Hari Pahlawan tanggal 10 November ini diangkat dari
sikap dan tindak kepahlawanan yang terjadi di kota Surabaya. Tindak
kepahlawanan di Surabaya ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari jiwa-jiwa
yang mendambakan kemerdekaan yang abadi bagi bangsanya, yang disertai
keberanian mengatasi pelbagai kesulitan, tantangan, tekanan fisik maupun moral.
Oleh karena itu peristiwa tanggal 10 November 1945 di Surabayaini bukanlah suatu peristiwa yang bersifat
“kebetulan” melainkan suatu pernyataan sikap yang murni dari arek-arek surabaya
yang berjiwa pantang dihina dan ditantang, apalagi oleh penjajah. Mereka
menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah harga diri bangsa
Indonesia, yang bagi mereka adalah masalah yang teramat prinsipal.
Kini peristiwa itu telah berlalu,
sebagai penghormatan yang layak baagi jasa-jasa dan pengorbanan mereka, wajar
bila kita memperingati peristiwa Hari pahlawan 10 November 1945, ini dengan
penuh khidmat yang disertai dengan amal perbuatan dan suri teladan serta
nilai-niali perjuangannya untuk mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan
Nasional, dan menegakkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara.
RUMUSAN
MASALAH
· Mengapa 10 November diindikasikan
sebagai hari pahlawan nasional ?
· Bagaimana peranan seorang Bung Tomo
dalam pertempuran 10 November?
10
NOVEMBER SEBAGAI HARI PAHLAWAN
10 November 1945, tanggal terjadinya pertempuran
Surabaya, adalah
salah satu tanggal bersejarah bagi rakyat Indonesia. Surabaya, 65 tahun silam.
Terjadi sebuah peristiwa dahsyat yang takkan terlupakan oleh seluruh bangsa
Indonesia. Begitu dahsyatnya pertempuran itu, sehingga sejarawan dunia
menyebutkan pertempuran 10 November 1945 sebagai salah satu pertempuran
terdahsyat di dunia setelah Perang Dunia II. Satu
pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan tonggak sejarah lahirnya negara Indonesia. Beberapa daerah di
Indonesia yang sejak 1928 ingin bersatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menyambut baik adanya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan di
kota Jakarta. Warga Surabaya pun turut larut dalam euforia menyambut
kebebasan dari penjajah Jepang.
Setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban
di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian
mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke
Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas
keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang,
membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal
ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan
rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Setelah
munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan
bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch.
Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan
Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi
sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia,
hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal
27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara
Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia
dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden
Sukarno untuk meredakan situasi.
Melihat kondisi semakin tidak kondusif di
kota Surabaya, pada tanggal 25 Oktober 1945 Sekutu mengirim 6.000 pasukan yang
dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby. Pasukan Mallaby ini dikenal dengan
nama “The Fighting Cook”. Namun kedatangan pasukan Mallaby ini tidak menciutkan
nyali para pejuang Surabaya. Keberanian mereka justru semakin bergelora,
apalagi mereka telah mendapatkan rampasan senjata cukup banyak, ditambah
adanya pemimpin yang mengomado perlawanan berikut media radio yang sangat besar
peranannya. Pasukan Mallaby terdesak hingga nyaris musnah semuanya,
sebagaimana diceritakan oleh sejarawan Inggris Donnison dalam bukunya
“The Fighting Cook”. Pimpinan Tertinggi Tentara Sekutu Jendral Hawthron
akhirnya meminta bantuan pimpinan tertinggi Indonesia Bung Karno dan Bung Hatta
untuk meredam perlawanan arek-arek Suroboyo.
Setelah
gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat
dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya
tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Tewasnya
Mallaby saat gencatan senjata berlangsung menambah murka pihak Sekutu. Mereka
akhirnya mengirim armada terbesarnya setelah Perang Dunia II ke pelabuhan
Surabaya. Armada berkekuatan 15.000 personel dari Divisi 5 plus 6.000 personel
dari Brigade 49 The Fighting Cook itu diangkut dengan sejumlah kapal perang dan
kapal terbang. Pihak Sekutu memberikan peringatan keras kepada seluruh warga
Surabaya agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Mereka juga mengultimatum agar
seluruh laki-laki menyerahkan diri, dengan ancaman hukuman mati apabila tetap
melawan. Tantangan Sekutu ditanggapi dengan gagah berani oleh warga Surabaya.
Bung Tomo pun meneriakkan pidato yang semakin membakar semangat arek-arek
Suroboyo untuk lepas dari belenggu penjajahan, meskipun harus membayarnya dengan
tetesan darah bahkan nyawa.
Dalam perlawanan ini, pihak Indonesia
mengerahkan lebih dari 20.000 tentara terlatih TNI dan alumni tentara didikan
Jepang. Tercatat pula sekitar 130.000 rakyat sipil yang terpanggil jiwanya
untuk berjihad membela bangsa turut ambil bagian dalam perjuangan ini. Saat
itu, perlawanan bukan lagi milik warga Surabaya, tapi menjadi milik seluruh
bangsa Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Para ulama memfatwakan wajib
jihad ke Surabaya bagi laki-laki yang sudah dewasa dan mampu. Bung Tomo sendiri
bahkan membentuk pasukan bom bunuh diri yang khusus dilatih untuk
meledakkan tank-tank tentara Sekutu.
Dahsyatnya pertempuran Surabaya dilukiskan
oleh sejarawan asing David Welch dalam bukunya, Birth of Indonesia. Di pusat
kota, pertempuran terjadi lebih ganas lagi. Suasana bertambah dramatis dengan
pemandangan mayat-mayat manusia serta bangkai-bangkai hewan bergelimpangan di
sungai dan selokan. Pecahan beling, gelas, dan perabotan rumah tangga.
Kawat-kawat telepon yang putus, berserakan dan bergelantungan di sana-sini.
Suara pertempuran di kejauhan demikian mencekam, bergema dalam gedung-gedung
kosong. Pertempuran berlangsung selama tiga pekan. Pada akhir bulan November
1945, seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Menurut Ricklefs (2008),
sedikitnya ada 6.000 rakyat Indonesia yang gugur dalam pertempuran ini.
Sedangkan dari pihak Sekutu, tercatat sekitar 1.000 orang tewas.
Bung Tomo, Tokoh Pahlawan 10 November
Berita Proklamasi Kemerdekaan pertama kali diketahui
oleh Bung Tomo, Yacob, dan R. Sumadi. Bung
Tomo kemudian membuat pengumuman yang ditempel
di depan kantor berita Domei dan bisa
dibaca oleh rakyat. Pasca menerima berita
Proklamasi dengan segera di Surabaya
diadakan peralihan pemerintahan dan perebutan
senjata dari Jepang. Bung Tomo turut serta
dalam perundingan dengan pihak Jepang dalam
rangka mendapatkan persenjataan dari Jepang.
Bung Tomo ikut andil
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
di Surabaya. Bung Tomo membentuk BPRI (Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia) yang bertujuan
menampung para rakyat untuk bersiap menghadapi
datangnya pasukan Inggris dan NICA.
Pembentukan BPRI ini berawal dari rasa
kecewa Bung Tomo ketika melihat kondisi
Ibukota Jakarta, dimana orang-orang Belanda
maupun Sekutu bebas berkeliaran di jalanan
Ibukota. BPRI mempunyai senjata ampuh dalam
menggerakkan massa, yaitu Radio Pemberontakan.
Pidato Bung Tomo di Radio Pemberontakan
berhasil memberikan semangat kepada rakyat untuk
terus berjuang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Berkat Radio
Pemberontakan ini terjalin komunikasi antar laskar pejuang.
ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha
membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh
tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan
pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi,
"Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!". Bung Tomo mengangkat moral penduduk Surabaya
lewat radio, meneriakkan dengan lantang slogan-slogan "Merdeka atau
Mati".
Atas latar belakang dan pembentukan karakter di masa
mudanya maka Sutomotelah menjadi salah satu dari sekian sedikit agitator yang
pernah dimiliki oleh bangsa ini. Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10
November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa
terpenting dalam sejarah Indonesia dengan Sutomo sebagai agitator yang berhasil
dalam sejarah.
PENUTUP
Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang
kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena begitu
banyaknya pahlawan - baik yang dikenal maupun tidak di kenal yang telah
mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya karena lamanya
pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu
semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan
pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya telah dapat
menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif,
dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang
melindungi (menyelundupkan) NICA ke wilayah Indonesia.
Nilai kepahlawanan adalah
suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan yang diinginkan
seorang pejuang bangsa dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam
hidupnya. Perjuangan 10 November merupan perjuangan yang membangkitkan semangat
juang rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa. Nilai-nilai kepahlawanan dijadilan dalam landasan untuk membentuk karakter
bangsa.
REFERENSI
Anderson, Ben. 1988.
Revoloesi Pemoeda “Pendudukan Jepang dan
Perlawanan di Jawa 1944-1946”. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Kuntowijoyo.2003. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Irna
H.N. 1994. Rakyat Jawa Timur
Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta
: Grasindo.
Panitia
Konferensi Internasional. 1997. Denyut
nadi revolusi Indonesia. Jakarta : Gramedia Pusataka Utama
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sjamsudin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Soemarsono. 2008. Revolusi Agustus “kesaksian seorang pelaku
sejarah”. Hasta Mitra.
Soepandhan,
Lukitaningsih. 1988. Peristiwa 10 Nov
1945 dalam Lukisan. PT. Enka Parahiyangan
Tanpa
Nama. 2011. Peristiwa 10 November. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs (http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November) (online)
Tanpa
Nama. 2011. Artikel sejarah. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs (http://umum.kompasiana.com/2009/11/23/pertempuran-surabaya-10-november-1945/) (online)
Tanpa
Nama. 2011. Artikel sejarah. Diakses 20 Juni 2011. jam 19.00 dalam situs (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/12654) (online)
Wawancara pada tanggal 8 Juni 2011
Bapak
H. Hartoyek (Pelaku Sejarah dalam Peristiwa pertempuran 10 November)
Bapak
Sarmudji (Anggota DPC LVRI Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar