Arsitektur Bangunan Kolonial di Indonesia
Bangunan kolonial adalah bangunan
bercorak arsitektur kolonial yang dimanfaatkan untuk kegiatan fungsional di
zaman kolonial. Ciri-ciri umum bangunan yang bersifat kolonial adalah bangunan
tinggi, kokoh, dan beratap datar untuk gedung serta atap miring untuk perumahan
biasa dan memiliki detail-detail tertentu. Meski memiliki beberapa jenis
karakteristik yang berbeda-beda di beberapa periode dalam sejarah Indonesia,
ciri-ciri bangunan kolonial yang paling mudah dikenali antara lain adalah:
· Denah simetri
· Tembok tebal
· Langit-langit tinggi
· Terdapat ruangan
utama yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan belakang
· Kamar tidur
ditempatkan di sebelah kiri dan kanan ruangan utama tadi
· Area servis (dapur,
kamar mandi dan gudang) ditempatkan di bagian belakang, terpisah dari bangunan
rumah utama.
· Penggunaan
pilar-pilar
· Tata ruang terbuka
· Terdapat atap datar
· Gevel horizontal
· Volume bangunan yang
berbentuk kubus
· Beranda luas
· Pintu dan jendela
yang berukuran besar
· Didominasi warna
putih
Umumnya gaya kolonial yang
ditemui pada bangunan-bangunan tua di Indonesia sudah dimodifikasi sehingga
sesuai dengan iklim tropis negara kita. Contohnya dari bentuk atap yang dibuat
menjorok keluar. Konstruksi bangunan juga disesuaikan dengan iklim tropis,
terutama pada pengaturan ruang, masuk sinar matahari, dan perlindungan hujan. Karakteristik
Arsitektur Kolonial Belanda dalam hal ini dapat dilihat dari segi periodisasi
perkembangan arsitekturnya maupun dapat pula ditinjau dari berbagai elemen
ornamen yang digunakan bangunan kolonial tersebut.
A. Periodisasi
Arsitektur Kolonial Belanda
Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi
periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke
16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
1. Abad 16
sampai tahun 1800-an
Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland
Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang
bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk
yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan
untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
2.
Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia
Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat
pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.
Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi
negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat
statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya
megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan
dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
3.
Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak
apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu,
pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut,
maka “indische architectuur” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai
gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun
pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri
Belanda.
4. Tahun
1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur,
baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi
arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut
kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya
yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut
muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada
arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur
tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya. Hampir serupa dengan
Helen Jessup, Handinoto (1996: 130-131) membagi periodisasi arsitektur kolonial
di Surabaya ke dalam tiga periode, yaitu: 1) perkembangan arsitektur antara
tahun 1870-1900; 2) perkembangan arsitektur sesudah tahun 1900; dan 3)
perkembangan arsitektur setelah tahun 1920. Perkembangan arsitektur kolonial
Belanda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900
Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup
masyarakat Belanda di negeri Belanda maka di Hindia Belanda (Indonesia)
kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Gaya tersebut sebenarnya
dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW. Daendels yang datang ke Hindia Belanda
(1808-1811). Daendels adalah seorang mantan jenderal angkatan darat Napoleon,
sehingga gaya arsitektur yang didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya
Perancis, terlepas dari kebudayaan induknya, yakni Belanda.
Gaya
arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels tersebut
kemudian dikenal dengan sebutan The Empire Style. Gaya ini oleh Handinoto juga
dapat disebut sebagai The Dutch Colonial. Gaya arsitekturThe Empire Style adalah suatu gaya arsitektur
neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang
diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda
(Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan
lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam
Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu
lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini
diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat
serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari
gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang
menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan
belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada
bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis
2)
Perkembangan Arsitektur Sesudah Tahun 1900
Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah
tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil
kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang
bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa
bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional
setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil
keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu
bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda
sendiri.
Kebangkitan
arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH.
Cuypers (1827-1921) yang kemudian disusul oleh para arsitek dari aliran Niuwe
Kunst (Art Nouveau gaya
Belanda) HP. Berlage
(185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem Kromhout (1864-1940), KPC. De
Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932), dan Edward Cuypers (1859-1927).
Gerakan Nieuw Kunst yang dirintis oleh Berlage di Belanda ini
kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu The AmsterdamSchool serta aliran De
Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitektur Art
Nouveau, The Amsterdam School dan De
Stijl dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a) Art
Nouveau
Art Nouveau adalah
gerakan internasional dan gaya seni arsitektur dan diterapkan terutama pada
seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di pergantian abad 20
(1890-1905). Nama Art Nouveau adalah bahasa Perancis untuk ‘seni
baru’. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami
motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-bentuk
lengkung yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah diterapkan
dalam hal arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan,
tembikar, logam, dan tekstil dan patung. Hal ini sejalan dengan filosofi Art
Nouveau bahwa seni
harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
b) The Amsterdam School
Arsitektur Amsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar
Amsterdam, berakar pada sebuah aliran yang dinamakan sebagai Nieuwe
Kunst di Belanda. Nieuwe
Kunst adalah
versi Belanda dari aliran “Art Nouveau” yang masuk ke Belanda pada peralihan
abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan ‘Art Nouveau‘, didalam dunia desain “Nieuwe Kunst” yang
berkembang di Belanda, berpegang pada dua hal yang pokok, pertama adalah
‘orisinalitas’ dan kedua adalah ‘spritualitas’, disamping rasionalitas yang
membantu dalam validitas universal dari bentuk yang diciptakan (de Wit dalam
Handinoto, e-journal ilmiah Petra Surabaya).
Aliran Amsterdam Shool menafsirkan ‘orisinalitas’ ini sebagai
sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang
dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan
‘spritualitas’ ditafsirkan sebagai metode penciptaan yang didasarkan atas
penalaran yang bisa menghasilkan karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan
memakai bahan dasar yang berasal dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah liat,
dsb.nya). Bahan-bahan alam tersebut dipasang dengan ketrampilan tangan yang
tinggi sehingga memungkinkan dibuatnya bermacam-macam ornamentasi yang indah.
Tapi semuanya ini harus tetap memperhatikan fungsi utamanya.
Pada
tahun 1915, ‘Nieuwe Kunst’
ini kemudian terpecah menjadi dua aliran. Pertama yaitu aliran Amsterdam School dan
yang kedua adalah De Stijl. Meskipun berasal
dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama (H.P. Berlage), tapi
ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut
dapat dijelaskan bahwa Amsterdam Schooltidak pernah menerima mesin sebagai alat
penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda dengan De
Stijl, yang menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai
nilai estetika publik atau estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai
alat pengganda karya-karyanya.
Pengertian lain mengenai Amsterdam School (Belanda: Amsterdamse School) adalah gaya arsitektur yang muncul dari
1910 sampai sekitar 1930 di Belanda. Gaya ini ditandai oleh konstruksi batu
bata dan batu dengan penampilan bulat atau organik, massa relatif tradisional,
dan integrasi dari skema yang rumit pada elemen bangunan luar dan dalam: batu
dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara atau “tangga” jendela (dengan horizontal
bar), dan
diintegrasikan dengan sculpture arsitektural. Tujuannya adalah untuk
menciptakan pengalaman total arsitektur, interior dan eksterior
Di samping karakteristik diatas, ciri-ciri lain dari
aliran Amsterdam Schoololeh
Handinoto (dalam e-journal ilmiah Petra Surabaya), antara lain :
a)
Bagi Amsterdam School, karya orisinalitas
merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap
desain yang dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Nilai
estetika dari karya-karya aliran Amsterdam School bukan
bersifat publik atau estetika universal. Itulah sebabnya Amsterdam School tidak
pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karyanya.
b)
Bagi Amsterdam School mengekspresikan ide dari suatu
gagasan lebih penting dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan
ke arah pengembangan baru dari jenis denah lantai dasar suatu bangunan
c)
Arsitek dan desainer dari aliran Amsterdam School melihat bangunan sebagai “total
work of art”, mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat
perhatian yang sama sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu sendiri,
dan hal tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis.
Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk memadukan tampak luar dan bagian
dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh.
d)
Bangunan dari aliran Amsterdam School biasanya
dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian tangan yang tinggi dan
bentuknya sangat plastis; ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari
bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam
desainnya.
e)
Walaupun arsitek aliran Amsterdam School sering
bekerja sama dengan pemahat dan ahli kerajinan tangan lainnya, mereka
menganggap arsitektur sebagai unsur yang paling utama dan oleh karenanya harus
sanggup mendikte semua seni yang lain.
c) Gaya
Arsitektur De
Stijl
Gaya De Stijl dikenal sebagai neoplasticism,
adalah gerakan artistik Belanda yang didirikan pada 1917. Dalam hal ini, neoplasticism sendiri dapat diartikan sebagai seni
plastik baru. Pendukung De Stijl berusaha untuk mengekspresikan
utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan ketertiban. Mereka
menganjurkan abstraksi murni dan universalitas dengan pengurangan sampai ke
inti bentuk dan warna; mereka menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal
dan horisontal, dan hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna
hitam dan putih.
Secara
umum, De Stijl mengusulkan
kesederhanaan dan abstraksi pokok, baik dalam arsitektur dan lukisan dengan
hanya menggunakan garis lurus horisontal dan vertikal dan bentuk-bentuk persegi
panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah terbatas pada warna utama, merah,
kuning, dan biru, dan tiga nilai utama, hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini
menghindari keseimbangan simetri dan mencapai keseimbangan estetis dengan
menggunakan oposisi.
3)
Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun 1920
Akihary (dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan
istilah gaya bangunan sesudah tahun 1920-an dengan nama Niuwe
Bouwen yang
merupakan penganut dari aliran International Style. Seperti halnya arsitektur
barat lain yang diimpor, maka penerapannya disini selalu disesuaikan dengan
iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan
arsitektur Niuwe Bouwen ini menurut formalnya berwarna
putih, atap datar, menggunakan gevel horizontal dan volume bangunan yang
berbentuk kubus. Gaya ini (Niuwe Bouwen/ New Building) adalah
sebuah istilah untuk beberapa arsitektur internasional dan perencanaan inovasi
radikal dari periode 1915 hingga sekitar tahun 1960. Gaya ini dianggap sebagai
pelopor dari International Style. Istilah “Nieuwe
Bouwen” ini diciptakan pada tahun dua
puluhan dan digunakan untuk arsitektur modern pada periode ini di Jerman,
Belanda dan Perancis. Arsitek Nieuwe Bouwen nasional
dan regional menolak tradisi dan pamer dan penampilan. Dia ingin yang baru,
bersih, berdasarkan bahasa desain sederhana, dan tanpa hiasan. Karakteristik Nieuwe
Bouwen meliputi: a) Transparansi, ruang, cahaya dan udara. Hal
ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi. b) Simetris
dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara. c)
Penggunaan warna bukan sebagai hiasan namun sebagai sarana ekspresi.
B. Berbagai
Elemen Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia
Elemen-elemen bangunan bercorak Belanda yang banyak
digunakan dalam arsitektur kolonial Hindia Belanda antara lain:
a) gevel (gable) pada tampak depan bangunan;
b) tower;
c) dormer;
d)windwijzer (penunjuk angin);
e) nok
acroterie (hiasan
puncak atap);
f)geveltoppen (hiasan kemuncak atap depan);
g) ragam
hias pada tubuh bangunan;
h) balustrade.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar