SEJARAH PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DI INDONESIA
Sejarah Pemilu
Pemilihan umum
(pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian
pemimpin. Sudah sembilan kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat
itu.Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002,
pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh
MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun
dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Pilpres sebagai
bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun
sekali.
Pemilu 1955.
Ini merupakan pemilu
yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Sekitar tiga bulan setelah
kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945,
pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam
Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran
tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan,
pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari
1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir
sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan
tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang
pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua,
15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam
Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah
untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Keterlambatan dan
“penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari
dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab
dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena
belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan
pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah
pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan
menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan
kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya
pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3
Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk
dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara
akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi
pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain
para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Pada paroh kedua tahun 1950, ketika
Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan
untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU
Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor
Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu
itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi
negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet
Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh
pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah
Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu
tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa
pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953
tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut
berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk
dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik
dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang
menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat.
Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini
dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota
Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat
disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya
menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu
kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah
berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah
keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD
1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme
kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai
kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepadademocracy
by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme
pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan
senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR
Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Pengangkatan
keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih
anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah
terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945,
MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno
diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan
XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial
pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal
dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan
pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno,
orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk
kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan
berkala.
Pemilu 1971
Ketika Jenderal
Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno
dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan
pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI
Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun
1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi
dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai
pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung
Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara
tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya
Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti
setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu
ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang
diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah
bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri
memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan
yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu
1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara,
termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon
partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat
pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi
sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan
Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam
hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu
1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15
Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.
Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi
jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi,
kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang
percuma.
Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997.
Setelah 1971,
pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga
diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah
itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu
teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua
parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama
dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan
Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan
Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. pun sama, Golkar selalu menjadi
pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar
bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung
dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah
kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Pemilu 1999
Setelah Presiden
Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan
presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan
publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga
hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu
dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat
itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan
atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan
dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR
untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti
bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya
keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie
sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun
2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh
sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas
Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah
RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil
dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999
dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh
banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam
sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan
pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil
menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri
menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan
juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13
bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan
hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan
penegakan hukum serta tekanan internasional.
Pemilu
2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para
peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka.
Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini
dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil
mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih
presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya
dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian
kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum
pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada
pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan
Yudhoyono sebagai presiden.
Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil
menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%,
mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar