RESUME
Judul Buku : Eksploitasi
Kolonial Abab XIX
(Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890)
Penulis : Agustina Magdalena Djuliati Suroyo
Penerbit : Yayasan Untuk Indonesia
Cetakan : 1, November 2000
Halaman : xxiv+352 halaman
Tebal : 2,0 cm
(Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890)
Penulis : Agustina Magdalena Djuliati Suroyo
Penerbit : Yayasan Untuk Indonesia
Cetakan : 1, November 2000
Halaman : xxiv+352 halaman
Tebal : 2,0 cm
Eksploitasi Kolonial Abab XIX (Kerja Wajib di Karesidenan Kedu
1800-1890) sebagai kebutuhan untuk meninjau ulang penulisan sejarah Indonesia
oleh para sejarawan asing yang lebih menggunakan sudut pandang Eropasentris dan
yang berwajah sejarah politik. Dan cenderung menampilkan bangsa-bangsa Barat
sebagai pemeran aktif dan bangsa Indonesia hanya sebagai pemeran pembantu yang
pasif, dalam menentukan sejarah.
Buku ini secara kusus membahas kerja wajib sebagai sistem pengganti pajak dan bentuk eksploitasi ekonomis yang dilakukan dalam masyarakat Tradisional Mataram, yang dimanfaatkan dan diperluas oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang sangat meningkat demi pelaksanaan tanam paksa dan pembangunan prasarana pendukungnya. Peningkatan tenaga kerja yang melebihi ruang lingkup desa mengakibatkan berbagai perubahan dalam masyarakat pedesaan. Perubahan ini merupakan bagian dari keseluruahan transformasi struktural yang terjadi sebagai akibat penetrasi kolonial dan kapitalisme barat. Hal ini membawa dampak yang sangat luas pada kehidupan rakyat petani di pedesaan, baik menyangkut aspek ekonomis, yaitu kemakmuran, pemanfaatan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, maupun kelembagaan seperti penguasaan tanah, kepemimpinan, pelapisan masyarakatdan hubungan-hubungan antar kelas sosial.
Buku ini secara kusus membahas kerja wajib sebagai sistem pengganti pajak dan bentuk eksploitasi ekonomis yang dilakukan dalam masyarakat Tradisional Mataram, yang dimanfaatkan dan diperluas oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang sangat meningkat demi pelaksanaan tanam paksa dan pembangunan prasarana pendukungnya. Peningkatan tenaga kerja yang melebihi ruang lingkup desa mengakibatkan berbagai perubahan dalam masyarakat pedesaan. Perubahan ini merupakan bagian dari keseluruahan transformasi struktural yang terjadi sebagai akibat penetrasi kolonial dan kapitalisme barat. Hal ini membawa dampak yang sangat luas pada kehidupan rakyat petani di pedesaan, baik menyangkut aspek ekonomis, yaitu kemakmuran, pemanfaatan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, maupun kelembagaan seperti penguasaan tanah, kepemimpinan, pelapisan masyarakatdan hubungan-hubungan antar kelas sosial.
Penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat structural
untuk menjelaskan proses terjadinya perubahan masyarakat. Sedangkan untuk
menunjukkan sifat-sifat tradisional dalam mengatur tatanan masyarakat penulis
menggunakan berbagai konsep dari ilmu social. Buku ini berupaya menjelaskan
pola-pola hubungan antar berbagai kelas petani dalam kaitannya dengan
penguasaan sumber daya alam dan kebutuhan tenaga kerja. Disamping itu juga
dijelaskan kedudukan dan peranan kepala desa, dalam kaitannya dengan bagaimana
eksploitasi pajak dan kerja wajib dilaksanakan dengan menggunakan kekuasaan
supra-desa.
Buku ini juga menganalisis bagaimana kekuasaan kolonial dan kapitalisme mulai memasuki dan menyeruak ke pedalaman desa-desa khususnya di Jawa, dan bagaimana kekuasaan kolonial menanamkan kekuasaan politiknya, dan mulai mengintensifkan eksploitasi ekonominya kepada masyarakat tersebut. Dalam buku ini secara khusus di paparkan mengenai laporan-laporan tanam paksa yang sangat kaya akan data ekonomi dan sosial yang sangat rinci mengenai pedesaan di Jawa, tempat proyek tanam paksa itu dilaksanakan.
Dari laporan-laporan data sejarah dalam arsib-arsib yang baru inilah penulis mengungkapkan wujud eksploitasi kolonial yang lebih realistis serta dampaknya kepada masyarakat desa, khususnya para petani yang menjadi pelaksana sistem yang disebut tanam paksa. Penulis menggambarkan wajah eksploitasi kolonial tidak lagi hitam putih yang dapat melahirkan stereotip baik dan buruk yang telah lebih dahulu dilekatkan pada kekuasaan kolonial atau bukan kolonial.
Buku ini juga menganalisis bagaimana kekuasaan kolonial dan kapitalisme mulai memasuki dan menyeruak ke pedalaman desa-desa khususnya di Jawa, dan bagaimana kekuasaan kolonial menanamkan kekuasaan politiknya, dan mulai mengintensifkan eksploitasi ekonominya kepada masyarakat tersebut. Dalam buku ini secara khusus di paparkan mengenai laporan-laporan tanam paksa yang sangat kaya akan data ekonomi dan sosial yang sangat rinci mengenai pedesaan di Jawa, tempat proyek tanam paksa itu dilaksanakan.
Dari laporan-laporan data sejarah dalam arsib-arsib yang baru inilah penulis mengungkapkan wujud eksploitasi kolonial yang lebih realistis serta dampaknya kepada masyarakat desa, khususnya para petani yang menjadi pelaksana sistem yang disebut tanam paksa. Penulis menggambarkan wajah eksploitasi kolonial tidak lagi hitam putih yang dapat melahirkan stereotip baik dan buruk yang telah lebih dahulu dilekatkan pada kekuasaan kolonial atau bukan kolonial.
Dengan menarik garis antara penjajah dipihak sana dengan stereotip
bahwa segala perbuatannya serba hitam dan buruk, dan bangsa sendiri di pihak
sini yang serba bersih penuh derita akibat ulah penjajah. Tetapi penulis juga
mengunkap tanam paksa secara berimbang dan seluk beluknya baik segi positif
maupun dari segi negatif dari sistem tanam paksa. Karena sesungguhnya realitas
kehidupan sangat kompleks untuk disederhanakan hanya dalam warna hitam dan
putih dengan garis pemisah yang tajam. Realitas Sejarah lebih cenderung banyak
yang abu-abu yang tidak simpel. Sehingga disinilah Ketelitian sejarawan dalam
menganalisis peristiwa sejarah itu sendiri.
Selain itu penulis juga mengungkapkan bahwa tanam paksa memang
mendatangkan keuntungan yang luar biasa besar kepada pihak kolonial dan negeri
Belanda. Namun belanda tetap memanfaatkan struktur feodal Jawa yaitu penguasaan
tanah dan tenaga kerja oleh penguasa supra desa. Dan menambahkan unsur moderen
barat seperti modal, manajemen produksi dan pemasaran tetap di tangan birokrasi
kolonial.
Disamping eksploitasi tanah dan tenaga kerja petani, yang
disingkap dalam buku ini adalah adanya upah tanam (Plantloon) setiap tahun
untuk petani yang cukup besar, melebihi jumlah pembayaran pajak tanah
(Lanrente). Tahun 1840 plantloon itu berjumlah sepuluh juta gulden, sedang
pembayaran pajak tanah hanya sekitar tujuh juta gulden, bahkan tahun 1860
keuntungan para petani setelah dipotong pajak tanah adalah empat juta gulden.
Meskipun uang itu tak seberapa jika dibagikan per petani, namun masuknya uang
setiap tahun ke pedesaan telah mendorong monetisasi yang sedikit meningkatkan kemakmuran
petani. Tetapi hal ini malah menimbulkan kesenjangan yang semakin besar dalam
strata masyarakat desa. Hal ini disebabkan disatu pihak para kepala desa yang
mendapat kekuasaan yang semakin besar dalam pembagian tanah dan tenaga kerja
untuk tanam paksa semakin kaya, sedang di pihak lain petani warga desa yang
bertanah sempit menanggung segala beban kerja wajib.
Eksploitasi kolonial dilakukan melalui pajak hasil bumi, uang, dan tenaga kerja. Sekalipun ekstrasi pajak kolonial lebih besar daripada masa prakolonial, namun ternyata monetisasi yang makin luas juga berhasil memberi kesempatan perkembangan ekonomis dan menambah pendapatan kepada lapisan masyarakat. Perkembangan ini sedikit banyak mengurangi ktergantungan petani terhadap patron yang lama. Politik tanam paksa dengan peningkatan kerja wajib juga mengendalikan keterbukaan desa sampai tingkat tertentu, karena desa sebagai lembaga kekuasaan makin kuat mengikat sebagian besar warganya.
Selain itu gambaran yang sangat suram juga terlihat akibat tanam paksa yaitu pada tanam paksa tarum yang diproses menjadi Indigo. Dari hasil penelitian mengungkapkan tanaman Tarum sangat merusak kesuburan sawah dan sangat banyaknya waktu dan tenaga ditutuntut pada kerja wajib tanam serta pemrosesan Indigo, sedangkan upah yang mereka terima sangat kecil. Penulis menggaris bawahi bahwa pelaksanaan tanam paksa atau eksploitasi kolonial dilakukan melalui penguasaan tanah dan tenaga kerja rakyat melalui berbagai kerja wajib. Dan dari data-data yang ada eksploitasi kolonial lebih banyak bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja. Pada tahun 1840 tanah pertanian di Jawa yang dipakai untuk tanam paksa adalah 6% tidak termasuk tanam paksa kopi, padahal penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam mencapai 72,5% dari seluruh penduduk petani di Jawa. Pada tahun 1860 tanah yang digunakan tinggal 2,5% tidak termasuk tanah untuk kopi. Dan penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam menurun menjadi 54,5%. Terlebih lagi bahwa beban kerja wajib tanam tidak hanya bekerja wajib di perkebunan tanam paksa pemerintah kolonial, melainkan juga mengerjakn sector pekerjaan umum, kerja pelayanan transportasi, kerja jaga, tenaga militer dan sebagainya. Bahkan ada kerja paksa membangun benteng militer yang sangat berat, meski diberi upah.
Eksploitasi kolonial dilakukan melalui pajak hasil bumi, uang, dan tenaga kerja. Sekalipun ekstrasi pajak kolonial lebih besar daripada masa prakolonial, namun ternyata monetisasi yang makin luas juga berhasil memberi kesempatan perkembangan ekonomis dan menambah pendapatan kepada lapisan masyarakat. Perkembangan ini sedikit banyak mengurangi ktergantungan petani terhadap patron yang lama. Politik tanam paksa dengan peningkatan kerja wajib juga mengendalikan keterbukaan desa sampai tingkat tertentu, karena desa sebagai lembaga kekuasaan makin kuat mengikat sebagian besar warganya.
Selain itu gambaran yang sangat suram juga terlihat akibat tanam paksa yaitu pada tanam paksa tarum yang diproses menjadi Indigo. Dari hasil penelitian mengungkapkan tanaman Tarum sangat merusak kesuburan sawah dan sangat banyaknya waktu dan tenaga ditutuntut pada kerja wajib tanam serta pemrosesan Indigo, sedangkan upah yang mereka terima sangat kecil. Penulis menggaris bawahi bahwa pelaksanaan tanam paksa atau eksploitasi kolonial dilakukan melalui penguasaan tanah dan tenaga kerja rakyat melalui berbagai kerja wajib. Dan dari data-data yang ada eksploitasi kolonial lebih banyak bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja. Pada tahun 1840 tanah pertanian di Jawa yang dipakai untuk tanam paksa adalah 6% tidak termasuk tanam paksa kopi, padahal penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam mencapai 72,5% dari seluruh penduduk petani di Jawa. Pada tahun 1860 tanah yang digunakan tinggal 2,5% tidak termasuk tanah untuk kopi. Dan penduduk petani pelaksana kerja wajib tanam menurun menjadi 54,5%. Terlebih lagi bahwa beban kerja wajib tanam tidak hanya bekerja wajib di perkebunan tanam paksa pemerintah kolonial, melainkan juga mengerjakn sector pekerjaan umum, kerja pelayanan transportasi, kerja jaga, tenaga militer dan sebagainya. Bahkan ada kerja paksa membangun benteng militer yang sangat berat, meski diberi upah.
Dalam perkembangannya, penghapusan kerja wajib yang bisa dianggab
sebagai proses defeodalisasi sebagai akibat desakan kapitalisme barat dan
meningkatkan penduduk tuna kisma(tanpa tanah), sesungguhnya berjalan lambat.
Karena proses konversi kerja wajib menjadi pajak uang ternyata mencapai jumlah
uang cukup besar, sehingga sebagian besar petani tidak mampu membayarnya. Buku
ini menjadi sangat penting, sekalipun fokusnya merupakan studi sejarah lokal
dengan memilih karesidenan kedu (Jawa Tengah) sebagai kajiannya.
Pilihan daerah kedu oleh penulis juga didasarkan pada harapan untuk mengungkapkan secara lebih kongkret bentuk, sifat dan besarnya eksploitasi, dengan membandingkan antara masa eksploitasi kolonial dengan masa eksploitasi prakolonial. Pilihan pemerintah kolonial menjadikan daerah ini sebagai daerah eksploitasi utamanya juga didasarkan pada kondisi peratanian sawah yang subur dan merupakan pemukiman penduduk yang telah sangat tua. Sekitar abad IX pemukiman ini telah menjadi masyarakat pertanian dengan peradaban yang tinggi, hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan bangunan candid an bangunan yang lainnya serta sejumlah prasasti yang ditemukan diwilayah Kedu.
Pilihan daerah kedu oleh penulis juga didasarkan pada harapan untuk mengungkapkan secara lebih kongkret bentuk, sifat dan besarnya eksploitasi, dengan membandingkan antara masa eksploitasi kolonial dengan masa eksploitasi prakolonial. Pilihan pemerintah kolonial menjadikan daerah ini sebagai daerah eksploitasi utamanya juga didasarkan pada kondisi peratanian sawah yang subur dan merupakan pemukiman penduduk yang telah sangat tua. Sekitar abad IX pemukiman ini telah menjadi masyarakat pertanian dengan peradaban yang tinggi, hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan bangunan candid an bangunan yang lainnya serta sejumlah prasasti yang ditemukan diwilayah Kedu.
Selain kesuburan tanah, kepadatan penduduk, dan perkembangan
pertaniannya, Kedu juga merupakan wilayah inti (nagaragung) Kerajaan Yogyakarta
dan Surakarta. Kehidupan ekonomis daerah ini telah agak berkembang dengan
adanya perdagangan dan peredaran uang yang didorong oleh sistem pajak yang
untuk sebagian berbentuk pajak uang. Setelah dikuasai pemerintah Hindia-Belanda,
terutama pada masa tanam paksa, sebagian besar daerah kedu merupakan daerah
kopi. Budidaya kopi ini mempunyai ekosistem tertentu yang berbeda dengan
tanaman lain seperti tebu atau Tarum (bahan Indigo). Siklus kerja dan
penyerapan tenaga kerja untuk budidaya kopi akan berlainan dengan budidaya
tanaman lain, demikian pula dampaknya pada masyarakat.
Petani Kedu telah menanam kopi sebelum masa tanam paksa, yaitu
sekitar akhir abad XVIII petani telah menanam kopi disekitar pekarangan
rumahnya. Atau dikebun-kebun sekitar desa. Mengungat prospek kopi yang sangat
baik, pemerintah menginginkan produksi kopi ditingkatkan dengan membuka lahan
baru yang dugunkan khusus untuk tanaman kopi. Pengolahan dan penanaman
dilakukan oleh petani dari desa terdekat. Untuk selanjutnya pemeliharaan
diserahkan kepada petani penguasa tegal dan petani penguasa tanah desa, yang
masing-masing bertanggung jawab atas sejumlah pohon kopi.
Buku ini dapat dijadikan sebagai sumbangan berharga, ditengah sepinya karya sejarawan Indonesia yang membahas secara khusus periode-periode pada masa tanam paksa. Selain itu buku ini menggunakan pendektan yang lebih seimbang dan menempatkan penduduk bangsa Indonesia sebagai pusat perhatian utama.
Buku ini dapat dijadikan sebagai sumbangan berharga, ditengah sepinya karya sejarawan Indonesia yang membahas secara khusus periode-periode pada masa tanam paksa. Selain itu buku ini menggunakan pendektan yang lebih seimbang dan menempatkan penduduk bangsa Indonesia sebagai pusat perhatian utama.
Boleh kah saya membeli buku itu?
BalasHapus