Yang
dimaksud Partai Politik adalah perkumpulan (segolongan orang-orang) yang
seasas, sehaluan, setujuan, (terutama di bidang politik). Baik yang berdasarkan
partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota
partai yang terkemuka; maupun yang berdasarkan partai massa, yaitu partai
politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) parpol juga berarti
perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu (KBBI,
1990 : 650). Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Parpol di Indonesia diawali
dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo pada tahun
1908 di Jakarta oleh dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu Boedi
Oetomo belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan Boedi Oetomo sudah
diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi
modern. Dengan kata lain, Boedi Oetomo merupakan cikal bakalnya organisasi
massa atau organisasi politik di Indonesia. Perkembangan menjadi lebih pesat
tatkala Indische Partij memperjuangkan “kemerdekaan Indonesia” berdasarkan
kebangsaan Indierschap. Parpol yang aktif pada masa pergerakan ini yaitu
INDISCHE PARTIJ yang didirikan oleh Dr. E.E.F. Douwes Dekker di Bandung pada
tanggal 25 Desember 1912. Yang bertujuan melanjutkan Indische Bond yang telah
ada sejak 1898 sebagai organisasi Kaum Indo peranakan di Indonesia. Seorang
Indo sebagai perumus gagasan yaitu Dr. E.E.F. Douwes Dekker yang kemudian
terkenal dengan nama Danudirdja Setiabudhi. Adanya diskriminasi antara kaum
Indo peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan
timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Lalu bertekad mendirikan perkumpulan
yang radikal yang berusaha meleburkan diri dengan masyarakat pribumi. Terutama
adanya ancaman yang sama yaitu penindasan kolonial. Kartodirdjo, 1975 : 189).
Partai Politik pada zaman pra-kemerdekaan pada umumnya bertujuan untuk
memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia, seperti yang diperjuangkan
oleh Parpol Indische partij.
AWAL PERKEMBANGAN PARPOL
PADA MASA KEMERDEKAAN
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi,
tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi
politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat
tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang
berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3
November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka
memperkuat perjuangan kemerdekaan. Diantaranya yaitu : 1.
Partai Sosialis 2. Partai Komunis Indonesia (PKI) 3. Partai Buruh Indonesia 4.
Partai Rakyat Jelata atau Murba 5. Masyumi 6. Serindo-PNI.
PARPOL DI MASA UUDS 1950 –
1959
Ketika itu Indonesia menganut demokrasi
liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam demokrasi parlementer,
demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu terjamin.
Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950 peranan
partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling terdapat
ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam
tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa
partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang.
Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan
meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai
suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai
politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan
antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Parpol)
sendiri.
PARTAI POLITIK PADA MASA
ORDE LAMA
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah
pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat
itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang
meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk
mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3
November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai
berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang
termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai
Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi
disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas power base-nya.
Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya.
Sementara itu partai yang berhasil meraih kursi melakukan
penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini
perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan
akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya,
terseleksi sehingga hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu
bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke
alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung
terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan
Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran
partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan
Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu
PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI.
Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada
waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena parpol yang lain
dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena
tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang
satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya,
membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya
revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung
Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU
PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU
Perkembangan partai politik setelah meletus G.
30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi
terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar.
Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu
bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin
Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya
sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari
pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara
murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru.
Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan
ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol Suara yang terdengar dalam MPR
sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga
partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik
pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut.
Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam
meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya
terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Pada
tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan
fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual,
lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu
partai-partai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai
dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya
sehingga yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP
lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang
sesungguhnya adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya. Golongan Karya (Golkar) Pengorganisasian Golkar secara teratur
dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara
eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk
mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga
keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi semula Golkar merupakan organisasi
yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an,
yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, di mana fungsi Golkar sama
seperti partai politik. Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan
ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin
mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada
perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad
melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju
tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang
merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dalam rel politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992). Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI. Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Dalam rel politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992). Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI. Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
PARTAI POLITIK ERA
REFORMASI
Era Reformasi yang melahirkan sistem
multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari
kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena
Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan
artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik.
Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti
dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai
Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses
demokrasi. Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum
2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu
mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan
fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang
stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan
Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat
artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif
dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa
dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa
ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat. Untuk
menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan,
diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi
tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain,
diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem
Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD.
KESIMPULAN
Sebagaimana lazimnya, partai politik selalu memiliki
idiologi tertentu, yang akan diperjuangkan untuk mensejahterakan rakyat.
Dengan idiologi itu, maka para pendukungnya menjadi sangat fanatik.
Membela partai seolah-olah menjadi pilihan hidupnya. Orang dengan idiologi itu
berani berkorban demi partainya. Demikian pula, seolah-olah harga dirinya
dipertaruhkan melalui partai politik pilihannya itu. Atas dasar idiologi
itu maka muncul distingsi yang jelas antar partai politik. Masing-masing partai
politik semestinya memiliki idiologi yang jelas sebagai dasar perjuangannya.
Sehingga, antar partai politik tatkala berebut pengaruh di tengah
masyarakat selalu mendasarkan pada tawaran-tawaran idiologinya itu.
Kualisi bisa saja terjadi, tetapi dilakukan oleh partai politik yang memiliki
kesamaan atau setidaknya antar partai politik yang memiliki kesamaan atau
kemiripan idiologis. Tidak akan mungkin antar partai politik yang secara
idiologis berbeda jauh melakukan kualisi secara permanen. Namun akhir-akhir ini
agaknya aneh, koalisi antar partai politik rupanya tidak teratur, baik di
antara daerah atau wilayah dan bahkan juga antar level bisa
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar